PENDAHULUAN
AKULTURASI.
Istilah akulturasi berasal dari bahasa
Latin acculturate yang berarti “tumbuh dan berkembang bersama”. Secara umum,
pengertian akulturasi (acculturation) adalah perpaduan dua buah budaya yang
menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya
tersebut. Misalnya. proses percampuran dua budaya atau lebih yang saling
bertemu dan saling memengaruhi. Sedangkan, menurut Koentjaraningrat, akulturasi
adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda. Syarat terjadinya
proses akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan
kebudayaan tanpa rasa terkejut. Syarat lainnya adalah adanya keseragaman
(homogenity) seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan
corak budayanya.
Indonesia. Jauh sebelum masuknya
kebudayaan Hindu, masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup
maju. Unsur-unsur kebudayaan asli Indonesia telah tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia
telah membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut diterima dan diolah serta disesuaikan dengan
kehidupan masyarakat Indonesia.
Hasil proses akulturasi budaya
ditentukan oleh kekuatan setiap budaya. Semakin kuat suatu budaya maka semakin
cepat memengaruhi budaya lainnya. Salah satu contoh dari proses akulturasi di
Indonesia adalah yang terjadi di daerah transmigrasi. Di antara berbagai suku
bangsa yang terdapat di daerah transmigrasi, secara alami terjadi pertemuan dua
budaya atau lebih. Dalam proses akulturasi, perbedaan-perbedaan yang ada
berjalan beriringan dengan
unsur persamaan-persamaan yang mereka
miliki sampai pada akhirnya budaya memiliki pengaruh lebih kuat akan berperan
besar dalam proses akulturasi.
Sebagai contoh, Seni Bangunan
Munculnya budaya Hindu-Buddha (India) di Indonesia sangat besar pengaruhnya
terhadap seni bangunan, terutama pada bangunan candi. Candi Hindu dan Buddha
yang ditemukan di Indonesia pada dasarnya merupakan wujud akulturasi.
Sejarah
perkembangan Hindu-Budha di Indonesia :
1.
Periode Awal (Abad V-XI M)
Pada
periode ini, unsur Hindu-Budha lebih kuat dan lebih terasa serta menonjol
sedang unsur/ ciri-ciri kebudayaan Indonesia terdesak. Terlihat dengan banyak
ditemukannya patung-patung dewa Brahma, Wisnu, Siwa, dan Budha di
kerajaan-kerajaan seperti
Kutai,
Tarumanegara dan Mataram Kuno.
2.
Periode Tengah (Abad XI-XVI M)
Pada
periode ini unsur Hindu-Budha dan Indonesia berimbang. Hal tersebut disebabkan
karena unsur Hindu-Budha melemah sedangkan unsur Indonesia kembali menonjol
sehingga keberadaan ini menyebabkan munculnya sinkretisme (perpaduan dua atau
lebih aliran). Hal ini terlihat pada peninggalan zaman kerajaaan Jawa Timur
seperti Singasari, Kediri, dan Majapahit. Di Jawa Timur lahir aliran Tantrayana
yaitu suatu aliran religi yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan
Indonesia asli dengan agama Hindu-Budha.
Raja
bukan sekedar pemimpin tetapi merupakan keturunan para dewa. Candi bukan hanya
rumah dewa tetapi juga makam leluhur.
3.
Periode Akhir (Abad XVI-sekarang)
Pada
periode ini, unsur Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan periode sebelumnya,
sedangkan unsur Hindu-Budha semakin surut karena perkembangan politik ekonomi
di India. Di Bali kita dapat melihat bahwa Candi yang menjadi pura tidak hanya
untuk memuja dewa. Roh nenek moyang dalam bentuk Meru Sang Hyang Widhi Wasa
dalam agama Hindu sebagai manifestasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Upacara
Ngaben
sebagai objek pariwisata dan sastra lebih banyak yang berasal dari Bali bukan
lagi dari India.
PEMBAHASAN
1.
Peninggalan sejarah Hindu-Budha di Indonesia
Umumnya
peninggalan sejarah kerajaan yang bercorak hindu budha di Indonesia berupa
bangunan yupa,atau candi, prasasti dan karya sastra.
a.
Yupa atau candi
Candi berasal dari kata candika
(Dewa Maut). Fungsi pembangunan candi untuk memuliakan raja yang telah
meninggal dunia. Saat raja meninggal, semua azimatnya disimpan di dalam peti,
kemudian peti tersebut diletakkan di dasar tempat candi tersebut dibangun.
Sebagai pelengkap dibuatlah arca yang merupakan perwujudan raja sebagai dewa
dan di depannya diletakkan sesaji.
Candi bagi umat Hindu digunakan
sebagai makam, sedangkan candi dalam ajaran Buddha berfungsi sebagai tempat
pemujaan terhadap dewa.
Contoh : Candi Borobudur, Candi
Prambanan, dll
b.
Prasasti
Prasasti disebut juga batu bertulis.
Prasasti merupakan peninggalan sejarah yang tertulis di atas batu, logam, dan
sebagainya. Prasasti biasanya berisi mengenai kehidupan atau peristiwa penting
di daerah setempat.
Contoh salah satu prasasti
peningalan kerajaan Tarumanegara : Ciaruteun, Kebun Kopi, Tugu, Lebak, Jambu,
Muara Cianten, dan
Pasir Awi yang semuanya ditulis
dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.
c.
Kitab-kitab
Pada zaman kerajaan Hindu-Buddha
berkembang di Indonesia, kebudayaan dan kesusastraan juga mengalami kemajuan,
terutama pada saat Kerajaan Majapahit.
Contoh:Kitab Cilpa Sastra, Kitab
Arjuna Wiwaha, Kitab Smaradahana, dan lain-lain.
2.
Ciri-ciri peninggalan sejarah
bercorak hindu budha pada candi di berbagai daerah di Indonesia
Terdapat
beberapa perbedaan ciri peninggalan sejarah Hindu-Buddha di Indonesia. Pengaruh
hindu Buddha yang masuk telah berasimilasi dengan budaya asli Indonesia dan
membentuk kebudayaan yang khas sehingga ciri peninggalan kebudayaan di
tiap-tiap daerah di Indonesia pun berbeda. Kebudayaan hindu Buddha di Indonesia
berbeda pula dengan kebudayaan aslinya di India.
Candi-candi
hindu biasanya berfungsi sebagai makam raja, sedangkan candi-candi Buddha hanya
berfungsi sebagai tempat pemujaan. Di dalam candi hindu, disimpan abu jenazah
raja yang ditaruh di dalam peti batu. Oleh karena itu candi juga berfungsi
sebagai tempat pemujaan. Beberapa candi yang bercorak hindu di Indonesia adalah
candi perambanan, candi jajagu, candi gedongsongo, candi dieng, candi
panataran, candi selogrio, candi pringapus, candi singasari, dan candi kidal. Sedangkan
candi yang bercorak Buddha adalah candi Borobudur, candi sewu.
3.
Sejarah pembuatan candi pada masa
Hindu Buddha di Indonesia
Kata
"candi" mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan,
antara lain empat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu
jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan
(pemandian) dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi
candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan
Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat
erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan
perkembangan
agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14.
Karena
ajaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, maka bangunan candi banyak
mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti: teknik bangunan, gaya
arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan
kondisi alam setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia
mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi
maupun corak dekorasinya. Dinding candi biasanya diberi hiasan berupa relief
yang mengandung ajaran atau cerita tertentu.
Dalam
kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan pengetahuan dasar seni
bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk ke atau keluar
dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai
petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada
dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi
penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga nencerminkan
keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut
terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang
tertutup,
sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan
keluar-masuk.
Beberapa
kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa Prakasa, memuat aturan
pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India. Para
seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab
keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang
benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang
memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar
dan
indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat.
Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura melakukan
persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun
teknis.
Salah
satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah pembuatan sketsa yang
benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan bangunan seperti yang
diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan
dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata
letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari
ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar
bagi pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan
dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu
kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh keadaan
alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping itu, setiap seniman
mempunyai imajinasi dan kreatifitas yang berbeda.
Sampai
saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di
Sumatra, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal
reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih
utuh
dan bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil
budaya manusia, keindahan dan keanggunan
bangunan
candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa
lampau.
Candi-candi
Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa hidupnya. Arca
dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang ditempatkan
dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan leluhurnya. Bahkan
kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti
persembahan candi
tersebut.
Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai
bentuk pengabdian kepada agama dan
untuk
mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa
Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia
sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar
dan Thailand.
Candi-candi
yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya,
merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa
hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta
tidak beraturan beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di
antaranya: Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang
umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk
bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya
dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak
di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok
ini, di antaranya: Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu,
dan Candi Borobudur.
Candi-candi
di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa
Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan
kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan,
Singasari, Kediri dan
Majapahit.
Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa
Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya,
candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu
andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang
dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih
diwarnai oleh ajaran Buddha.
Candi-candi
di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan sebagian besar masih digunakan untuk
pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat ini. Di Pulau Sumatra terdapat 2
candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra
Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau.
Sebagian
candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada tanggal 14
Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang
dinamakan Oudheidkundige.
Beberapa
candi di Indonesia telah mengalami renovasi di antaranya ada Candi Borobudur
mengalami renovasi dua kali, yang pertama diawali pada tahun 1907 – 1911 dan
renovasi kedua tahun 1972 – 1983. Pada renovasi kedua menghabiskan dana sebesar
25 juta dolar amerika, yang dikumpulkan dari para donator yang peduli dengan
keberadaan candi di Indonesia.
4.
Hubungan antara Kebudayaan dan
Globalisasi
Di
dalam globalisasi terlihat dengan jelas bahwa terdapat ambisi dari
negara-negara yang menumpang dalam globalisasi. Negara-negara yang ingin
mewujudkan kepentingannya dapat mengekspansi atau mengeksploitasi negara lain
melalui globalisasi. Pengaruh globalisasi terhadap budaya tidak dapat di indakan
walupun budaya sudah tertanam dengan baik pada setiap bangsa.
Pengaruh
globalisasi memang menawarkan beragam hal di berbagai bidang, namun pada
akhirnya globalisasi malah akan menimbulkan sebuah kekosongan.
KESIMPULAN
Akulturasi
adalah penggabungan dua budaya yang menciptakan budaya baru tanpa menghilangkan
unsur-unsur dalam budaya asli.
Di Indonesia, Jauh sebelum masuknya
kebudayaan Hindu, masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup
maju. Unsur-unsur kebudayaan asli Indonesia telah tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
Hasil proses akulturasi budaya
ditentukan oleh kekuatan setiap budaya. Semakin kuat suatu budaya maka semakin
cepat memengaruhi budaya lainnya. Salah satu contoh dari proses akulturasi di
Indonesia adalah yang terjadi di daerah transmigrasi. Di antara berbagai suku
bangsa yang terdapat di daerah transmigrasi, secara alami terjadi pertemuan dua
budaya atau lebih. Dalam proses akulturasi, perbedaan-perbedaan yang ada
berjalan beriringan dengan unsur persamaan-persamaan yang mereka miliki sampai
pada akhirnya budaya memiliki pengaruh lebih kuat akan berperan besar dalam
proses akulturasi.
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi.Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
DAFTAR
PUSTAKA
Badrika,
I wayan (2006). Sejarah untuk
SMA.penerbit Erlangga
Badrika,
I wayan (1995). Sejarah nasional indonesia dan umum: Jalid 2B untuk Kelas 2
SMU.penerbit Erlangga
S.
Tugiyono K (2004). Sejarah. Penerbit
Grasindo
http://candi.pnri.go.id/temples/
Artikelnya bermanfaat kak, ini saya juga punya artikel tentang Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu Budha, smoga dpt saling melengkapi
BalasHapus7 Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu Budha
terimakasih, maaf jika masih banyak kekurangan ^___^
HapusArtikelnya bagus. klo boleh tanya, kenapa bentuk bangunan candi antara hindu dan budha berbeda ?
BalasHapus